Hutan Adalah Otot Peradaban Bangsa


Jakarta - Sebagaimana otot pada diri manusia salah satu fungsi jaringan otot yang sangat penting adalah menggerakan organ-organ tubuh. Jika otot tidak ada maka dapat dipastikan manusia tidak dapat melakukan aktivitas. Apalagi menghasilkan karya. Begitu pun dengan hutan yang ada pada suatu bangsa. Dialah yang menjadi otot peradaban. Tanpa adanya hutan suatu bangsa tidak akan mampu menggerakan sektor-sektor yang ada di dalamnya. 

Sebagai contoh adalah hancurnya peradaban suku Maya yang ada di Amerika Tengah. Pada puncak kejayaannya sekitar tahun 900 Masehi kota-kota Maya dipadati oleh sekitar 2.000 orang per mil persegi. Sama dengan kota Los Angeles saat ini. Bahkan, di wilayah pedesaan penduduknya tetap menunjukkan jumlah yang besar. 200 - 400 orang per mil persegi. 

Namun, tiba-tiba, semuanya menjadi sunyi. Dan, kesunyian ini adalah saksi salah satu kehancuran demografis dalam sejarah umat manusia. Runtuhnya peradababan suku Maya. Tom Server, seorang arkeolog veteran mengatakan, "mereka menyebabkan kemusnahan mereka sendiri".

Suku Maya sering digambarkan sebagai masyarakat yang tinggal dalam keharmonisan dengan lingkungannya. Namun, seperti kebudayaan lain sebelum dan sesudah mereka mereka menebang hutan dan menghancurkan lingkungannya untuk bertahan hidup di masa sukar. 

Kekeringan panjang membawa dampak bagi kehidupan penduduk suku Maya. Kenaikan temperatur dan berkurangnya curah hujan yang diakibatkan oleh penggundulan hutan menyebabkan masalah serius di kota-kota Maya. Suku Maya melakukan penggundulan hutan dengan menggunakan metode agrikultur tebang dan bakar. Sebuah metode yang masih digunakan oleh mereka hari ini.

Kekeringan bukan hanya membawa kesulitan untuk pertanian. Namun, suku Maya juga mengalami kesulitan menyimpan air untuk persediaan musim kemarau. Kota Maya mencoba untuk menyimpan persediaan air 18 bulan di waduk. Contohnya, di Tikal ada waduk yang menampung jutaan galon air. Tapi, tanpa curah hujan yang cukup waduk itu menjadi kering. Kelaparan dan kehausan pun melanda.

Penggundulan hutan dan kemarau yang menyebabkan kelaparan mungkin telah membawa akibat lainnya seperti perang saudara dan wabah penyakit. Di beberapa kota Maya kuburan massal yang ditemukan berisi beberapa kelompok tengkorak dengan potongan batu jade di giginya --yang memang biasanya hanya dipakai penduduk kelas atas suku Maya.

Pemanfaatan hutan yang dilakukan suku Maya ini sama halnya dengan pandangan para konglomerat nasional dan internasional saat ini tentang hutan. Bagi mereka fungsi hutan adalah untuk menghasilkan kayu agar "perut" mereka terisi. 

Bila kayu niagawi habis tidak ada lagi kayu layak tebang. Hutan itu pun dikategorikan rusak atau kritis. Benarkah demikian?

Selama ini pengertian pembangunan berkelanjutan di sektor kehutanan lebih condong melihatnya dari sudut pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan (overal growth of the economic). Pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai sustainable macro economic growth. Hanya melihat keuntungan ekonomi (berapa rupiah) yang akan diperoleh apabila menanamkan investasi di sektor kehutanan. Kemudian keuntungan dari usaha tersebut menjadi modal untuk investasi di bidang non-kehutanan yang akan memberikan keuntungan lebih besar. 

Keuntungan investasi di sektor kehutanan seharusnya dipergunakan untuk membangun atau merehabilitasi hutan supaya tetap terjaga. Kenyataannya hasil dari hutan hampir seluruhnya diinvestasikan kembali ke sektor yang tidak ada kaitannya dengan hutan. Suatu hal yang terjadi selama ini dalam pengelolaan hutan kita. 

Tak heran apabila kerusakan hutan semakin hari semakin bertambah. Banyak studi dan kajian-kajian ilmiah membuktikan bahwa sebagian besar pengelolaan hutan di Indonesia belum menerapkan prinsip-prinsip kelestarian (sustainability).

Penilaian peranan konservasi ekosistem hutan bagi kesejahteraan masyarakat merupakan pekerjaan yang sangat kompleks. Karena, melibatkan berbagai faktor yang saling terkait satu sama lain. Tidak hanya faktor teknis. Akan tetapi juga faktor sosial dan politik. 

Menurut Munasinghe dan McNeely (1987) nilai kegiatan konservasi hutan sangat tergantung pada model pengelolaannya. Dengan kata lain nilai konservasi hutan tidak hanya ditentukan oleh faktor abiotik, biotik, dan ekonomi. Akan tetapi juga oleh kelembagaan yang dibangun untuk mengelolanya. 

Secara sederhana nilai ekonomi total kegiatan konservasi hutan dapat dibagi dua yaitu nilai penggunaan (NP) dan nilai non-penggunaan (NNP). Dengan demikian Pearce dan Moran memfokuskan bahwa nilai ekonomi total (NET) suatu konservasi hutan adalah jumlah dari nilai penggunaan (NP) dan nilai non-penggunaan (NP). 

Nilai penggunaan terdiri dari nilai penggunaan langsung, nilai penggunaan tidak langsung, dan nilai pilihan (option value). Sedangkan nilai non-penggunaan termasuklah di dalamnya nilai keberadaan (existence value), dan nilai warisan/kebanggaan (bequest value). Walaupun nilai ekonomi hutan total masih jauh lebih besar lagi. 

Alasannya adalah pertama, nilai tersebut masih belum mencakup seluruh nilai konservasi hutan kecuali nilai ekonominya saja. Dan, kedua, banyak ahli ekologi menyatakan bahwa nilai ekonomi total tidak dapat dihitung dengan formula sederhana karena ada beberapa fungsi ekologis dasar yang bersifat sinergis sehingga nilainya jauh lebih besar dari nilai  fungsi tunggal. 

Dari sudut pandang rimbawan hutan mempunyai fungsi serba guna yaitu sebagai penghasil kayu, pengaturan tata air, tempat berlindung kehidupan liar, penghasil makanan, jasa lingkungan, penyerapan gas CO2, tempat wisata, dan lain-lain. Namun demikian semua ahli mengakui sangatlah sulit menetapkan batas-batas fungsi tersebut satu sama lain secara tegas karena fungsi tersebut berinteraksi secara dinamis.

Setelah paham akan peranan penting yang ada pada hutan maka diharapkan para seluruh stake holder kehutanan dapat mengubah cara pandang terhadap hutan yang hanya berorientasi kepada keuntungan ekonomi yang sempit. Prof Dr Hariadi Kartodihardjo pernah mengungkapkan: 

"Kerusakan hutan disebabkan oleh tindakan manusia dan tindakan manusia akibat cara pikir yang digunakannya. Untuk itu bisa jadi kerusakan hutan bukan masalah penting, karena hanya soal kerusakan fisik. Sangat berbahaya apabila kerusakan cara pikir --di balik tindakan-tindakan manusia itu, tidak dapat diperbaiki. Dan, memang terbukti sangat sulit memperbaikinya, daripada sekedar membangun tegakan hutan untuk mengganti hutan yang rusak". 

Dengan mengubah cara pandang dan mengetahui runtuhnya peradaban suku Maya maka hutan yang menjadi warisan untuk menjadi penyangga kehidupan akan lestari dalam hal pemanfaatannya. Sehingga, bangsa Indonesia khususnya, dan bangsa dunia umumnya dapat menggerakkan berbagai sektor yang ada di dalamnya. Karena, hutan adalah otot peradaban bangsa.

Awalludin Ramdhan Mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...