Wali Songo Berasal Dari China?


P
ada tahun 1968 terbit buku Prof. Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Buku itu dilarang oleh Kejasaan Agung karena mengungkapkan hal-hal yang kontroversial waktu itu, yakni sebagian wali songo berasal dari China. Tidak ada salahnya, bila benar bahwa sembilan penyebar agama Islam itu dari China atau dari belahan dunia manapun.
Yang menjadi persoalan adalah saat itu rezim Orde Baru telah menetapkan China sebagai musuh karena negara itu dituduh membantu Gerakan 30 September 1965. Pemerintah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Beijng, dan segala yang berbau China dilarang.
Pada era reformasi ini ada baiknya pendapat Slamet Muljana itu dikaji ulang dengan pikiran yang lebih tenang. Slamet Muljana membandingkan atau lebih tepat-melakukan kompilasi terhadap tiga sumber, yaitu Serat Kanada, Babad Tanah Jawi, dan naskah dari kelenteng Sam Po Kong yang ditulis Poortman dan dikutip Perlindungan. Residen Poortman tahun 1928 ditugasi pemerintah kolonial untuk menyelidiki apakah Raden Patah itu orang China. Raden Patah bergelar Panembahan Jimbun dalam Serat Kanda, dan Senapati Jimbun dalam Babad Tanah Jawi. Kata jin bun dalam salah satu alek China berarti ”orang kuat”. Maka sang Residen itu menggeledeh Kelenteng Sam Po Kong di Semarang dan mengangkut naskah yang berasal dari bahasa Tionghoa yang ada di sana – sebagian sudah berusia 400 tahun – sebanyak tiga cikar (pedati yang ditarik lembu). Arsip Poortman ini dikutip Mangaraja Onggang Perlindungan yang menulis buku yang juga kontroversial Tuanku Rao. Slamet Muljana banyak menyitir buku ini.
Slamet menyimpulkan, Bong Swi Hoo – yang datang di Jawa tahun 1445 – sama dengan Sunan Ampel. Bong Swi Hoo menikah dengan Ni Gede Manila yang merupakan anak Gan Eng Cu (mantan kapitan China di Manila yang dipindahkan ke Tuban sejak tahun 1423). Dari perkawinan ini lahir Bonang yang kemudian sebagai Sunan Bonang. Bonang diasuh Sunan Ampel bersama dengan Giri yang kemudian dikenal sebagai Sunan Giri.
Putra Gan Eng Cu yang lain adalah Gan Si Cang yang menjadi kapitan China di Semarang. Tahun 1481 Gan Si Cang memimpin pembangunan Masjid Demark dengan tukang-tukang kayu dari kalangan kapal Semarang. Tiang penyangga masjid itu dibangun dengan model kontruksi tiang kapal yang terdiri dari kepingan-kepingan kayu yang tersusun rapi. Tiang itu dianggap lebih kuat menahan angin badai daripada tiang yang terbuat dari kayu yang utuh.
Akhirnya Slamet menyimpulkan, Sunan Kali Jaga yang masa mudanya bernama Raden Said itu tak lain dari Gan Si Cang. Sedangkan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah menurut Slamet Muljana adalah Toh A Bo, putra Sultan Trenggana (memerintah Demark tahun 1521-1546). Sementara itu Sunan Kudus atau Jafar Sidik yang tak lain dari Ja Tik Su.
XxxX
Tentu tak ada larangan untuk berpendapat bahwa sebagian Wali Songo itu berasal dari China. Namun, kelemahan Slamet Muljana, ia hanya mendasarkan kesimpulannya pada buku yang ditulis MO Perlindungan. Slamet pun tidak memeriksa naskah-naskah yang berasal dari kelenteng Sam Po Kong Semarang itu. Dengan melakukan penelitian terhadap sumber berbahasa China, baik yang ada di Nusantara maupun di daratan China, digarapkan periode ini (terutama mengenai penyebaran agama Islam di Jawa abad XV-XVI) dapat dijelaskan dengan lebih baik.
Sebetulnya pada masa ini cukup banyak sumber mengenai laksamana muslim Cheng Ho yang berlayar ke berbagai penjuru dunia awal abad XV dengan armada yang lebih besar dari pelaut Eropa. Cheng Ho sendiri mempunyai penerjemah Ma Huan yang juga beragama Islam dan menuliskan pengalaman ini dalam buku Yinggai Senglan.
Dalam buku itu dilaporkan tentang masyarakat China yang bermukim di Jawa yang berasal dari Kanton, Zhangzhou, dan Quanzhou. Mereka telah meninggalkan negeri China dan menetap di pelabuhan-pelabuhan pesisir Jawa sebelah timur. Di Tuban mereka mereka sebagian besar penduduk yang waktu itu jumlahnya mencapai ”seribu keluarga lebih dikit”.
Di Gresik hanya ada ”pantai tanpa penghuni” sebelum orang Kanton menetap di sana. Di Surabaya sejumlah besar penduduk juga orang China. Menurut Ma Huan ”kebanyakan orang China itu sudah masuk agama Islam dan menaati aturan agama”. (Lombard, Nusa Jawa, jilid II, 1996)
Pada abad-abad berikutnya sudah ada sumber berbahasa Eropa mengenai tokoh China yang beragama Islam. Ketika Banten mengalami masa kejayaan pada abad XVII, di sana ada pengusaha besar Tan Tse Ko. Ia bisa membaur dengan masyarakat Banten dengan menyatakan diri dengan masuk agama Islam dan berganti nama jadi Cakradana.
Ia adalah seorang eksportir yang memiliki wawasan global. Dalam catatan sejarah tercantum, ia misalnya berkali-kali mengirim kapal dagang ke Indocina tahun 1670, 1671, 1672, 1676. Bukti bahwa Tan Tse Ko mempunyai hubungan dagang dengan saudagar Eropa terlihat dari surat tagihan utangnya yang ada di museum pada sebuah negeri Skandinavia, tertulis dalam bahasa Melayu, bahasa yang menjadi lingua franca di bilangan Nusantara ketika itu.
Saya tidak berbicara tentang akidah, sesuatu yang ada dalam hati dan hanya diketahui masing-masing orang. Tidak diketahui apakah ia taat beribadah, hal ini tak disebut dalam sumber sejarah. Namun, secara formal ia masuk agama yang mayoritas masyarakat Banten masa itu. Yang jelas, dengan menjadi muslim, Cakradana telah dapat diterima menjadi anggota masyarakat Banten.
Karena dekat dengan raja – buka sekarang saja, pedagang diangkat menjadi penjabat – pada tahun 1677 Cakradana diangkat menjadi Syahbandar. Sayang, pada April 1682, VOC merebut Banten dan melarang seluruh perdagangan Internasioanal yang selama ini dilakukan oleh Banten, dalam rangka mendapatkan monopoli oleh pihak Belanda.
Tulisan ini diakhiri dengan pernyataan, sumber berbahasa China juga penting bagi penulisan sejarah penyebaran Islam di Nusantara (termasuk mengenai Wali Songo) maupun bagi sejarah nasional secara umum. Selama 35 tahun, hal ini telah terabaikan.

Sumber: Asvi Warman Adam, membongkar manipulasi sejarah.



READ MORE

John Lie


T
ahun 2003 saat menyongsong hari raya Imlek, ada sebuah tulisan di Kompas, 31 Januari 2003, tentang peran John Lie dalam mempertahankan kemerdekaan RI sehingga ia layak diangkat sebagai pahlawan nasional.
Beberapa waktu lalu penulis di berita Kompas (kebetulan penulis asli artikel ini), dia ditelepon oleh seorang tokoh Tionghoa yang juga pengacara. Ia mengatakan, pihak Sekretaris Militer Kepresidenan yang berperan dalam pengurusan pahlawan itu telah menghubunginya dan meminta nama seorang tokoh Tionghoa yang patut diangkat sebagai pahlawan, tetapi yang berjuang pada beberapa abad yang silam. Mungkin salah seorang kapitan China yang pernah berontak melawan kolonial Belanda. Terlepas dari benar atau tidaknya ada komunikasi antara pihak dia dan pihak istana, bagi saya yang mengherankan adalah mengapa sang pahlawan mesti dari beberapa abad lalu. Bukankah John Lie sebenarnya sudah memenuhi syarat untuk itu.
Keberatan terhadap pengangkatan John Lie sebagai pahlawan nasional mungkin karena beberapa hal, dan dibawah ini penulis mencoba memberikan reaksi balik. Pertama, John Lie adalah seorang perwira Angkatan Laut. Mungkin lebih diterima adalah Angkatan Darat. Namun, alasan itu tidak tepat juga karena di deretan pahlawan nasional juga ada yang berasal dari angkatan laut, seperti Jos Sudarso. John beragama Kristen. Itu tidak menjadi soal. John dalam berlayar membawa kitab suci Injil. Ketika kapalnya ditembaki meriam kapal Belanda, ia masih sempat berdoa. Mugkin itu dilebih-lebihkan. Tulisan itu terdapat di majalah Life International dengan judul With One Hand the Bible ang the Other a Gun. Namun, andaikata benar juga tidak apa-apa. Malah memberikan nilai tambah kepadanya, karena ia berjuang dengan disertai keyakinan agama juga.
Mungkin alasan penolakan yang paling berat adalah karena John Lie dianggap sebagai penyelundup. Tudingan itu sebenarnya keliru. Ia adalah mualim pada kapal pelayaran niaga milik Belanda KPM yang kemudian bergabung dengan Angkatan Laut RI. Pada mulanya ia bertugas di Cilacap dengan pangkat kelasi kelas tiga. Di pelabuhan ini selama beberapa bulan ia berhasil membersihkan ranjau yang ditanam oleh Jepang untuk menghadapi pasukan Sekutu. Atas jasanya ini pangkatnya dianikkan menjadi mayor.
Selanjutnya, ia ditugaskan untuk mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi kas negara yang saat itu masih tipis. Pada masa awal (tahun 1947), ia pernah ikut kapal yang membawa karet 800 ton untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di Singapura, Utoyo Ramelan.
Sejak saat itu ia secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda. Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Barter itu terjadi ditengah laut bukan di pelabuhan yang dikuasai Inggris. Bila diperiksa, mereka mengaku membawa tekstil dan ban mobil. Senjata yang mereka peroleh kemudia diserahkan kepada pejabat republik yang ada di Sumatera, seperti Bupati Riau, sebagai sarana perjuangan melawan tentara Belanda.
Perjuangan mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, Republik yang ada di Sumatera seperti Bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan Belanda. Perjuangan mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, juga harus menghandang gelombang samudera yang relatif besar untuk ukuran kapal yang mereka gunakan. Untuk keperluan operasi ini, John Lie menahkodai kapal kecil cepat. Seperti dituturkan dalam buku yang disunting Kustiniyati Mochtar (1992), paling sedikit 15 kali ia menembus blokade musuh. Pernah ketika membawa 18 drum minyak kelapa sawit, ia ditangkap perwira Inggris. Di pengadilan Singapura ia dibebaskan karena tidak terbukti melanggar hukum.
Ia juga mengalami peristiwa menegangkan saat membawa senjata semiotomatis dari Johor ke Sumatera, dihadang pesawat terbang patroli Belanda. John Lie mengatakan, kapalnya sedang kandas. Dua penembak, seorang berkulit putih dan seorang lagi berkulit gelap, mengarahkan senjata ke kapal mereka. Entah mengapa, komandan tidak mengeluarkan perintah tembak. Pesawat itu lalu meninggalkan the Outlaw tanpa insiden, mungkin persediaan bahan bakar minipis sehingga mereka buru-buru pergi.
Setelah menyerahkan senjata kepada Bupatu Usman Effendi dan komandan batalyon Abusamah, mereka lalu dapat surat resmi dari syahbandar bahwa kapal the Outlaw adalah milik Republik Indonesia dan diberi nama resmi PPB 58 LB. Seminggu kemudian John Lie kembali ke Port Swettenham di Malaya untuk mendirikan naval base yang menyuplai bahan bakar bensin, makanan, senjata dan keperluan bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Ferdy Salim yang kemudian beberapa kali menjadi Duta Besar Indonesia juga pernah ikut dalam kapal John Lie dalam misinya menemui Daoed Beureuh. Kunjungan ini berhasil. Tokoh Aceh ini kemudian memberi mandat kepada wakil Pemerintahan Indonesia di Singapura untuk menerima semua devisa Aceh yang waktu itu terkumpul di Penang.
Pada awal 1950 ketika ada di Bangkok, ia dipanggil pulang ke Surabaya oleh KSAL Subiyakto dan ditugaskan menjadi komandan kapal perang Rajawali. Pada masa berikut ia aktif dalam penumpasan RMS di Maluku lalu PRRI/Permesta. John Lie yang juga dikenal dengan nama Jahya Daniel Dharma tetap berdinas di Angkatan Laut, terakhir berpangkat laksamana muda. Sebetuknya tidak ada alasan untuk menunda lagi pengangkatan John Lie sebagai pahlawan nasional. Kenapa pemerintah masih setengah hati seperti halnya tahun lalu memberi bintang jasa kepada Fifi Young dan Tan Tjeng Bok tetapi bukan gelar pahlawan.
Tidak ada manusia yang sempurna, demikian pula semua pahlawan nasional yang telah maupun yang akan diangkat. Namun paling tidak, mereka telah berjuang dan sebagian hidupnya diabdikan membela kepentingan bangsa dan negara. Itu akan menjadi suri teladan bagi generasi sekarang dan mendatang.
Pengangkatan John Lie sebagai pahlawan nasional akan mempunyai dampak besar. Pertama, orang Tionghoa pun bisa berdinas dalam didang kemiliteran bahkan menjadi pahlawan. Kedua, ini akan menjadikan etnis Tionghoa setara dengan etnis lainnya di Tanah Air karena telah terbukti berjuang dan berjasa dalam  membela kemerdekaan RI.

Sumber: Asvi Warman Adam, membongkar manipulasi sejarah.

READ MORE

Pahlawan Nasional Etnis Tionghoa


M
eski Indonesia telah merdeka tahun 1945, pengangkatan pahlawan nasional baru dimulai sejak tahun 1959. Sampai sekarang tercatat lebih dari 100 pahlawan yang berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia.
Tahun 2002, Pong Tiku masuk jajaran terhormat ini. Ia adalah pejuang dari Tanah Toraja yang berperang melawan Belanda tahun 1905-1907. Deretan pahlawan nasional itu bagai album perjuangan. Masing-masing daerah berusaha memasukan ”foto” – nya ke album bersama ini. Pada akhir pemrintahan Soeharto, dirasa tidak cukup bila provinsi diwakili seorang tokoh, sampai-sampai ada kabupaten yang ingin memperjuangkan pahlawan yang berasal dari wilayah mereka sendiri (daerah tingkat II).
Selama Orde Baru, ada dua pahlawn nasional yang dicekal. Maksudnya nama mereka tidak tercantum dalam buku pelajaran sejarah sekolah meski surat pengangkatan sebagai pahlawan nasional tidak dicabut. Keduanya adalah tokoh dari golongan kiri, yakni Tan Malaka (diangkat tahun 1963) dan Alimin (1964).
Dalam waktu lebih 30 tahun, etnis Tionghoa tidak disebur dalam pelajaran sejarah Indonesia. Aneka peringatan dan pertunjukkan kultural yang berbau Tionghoa tidak pernah ditampilkan di depan umum. Buku Slamet Muljana yang memuat pendapat kontroversial bahwa Wali Songo berasal dari etnis Tionghoa tidak dibahas secara ilmiah, tetapi langsung dilarang Kejaksaan Agung.
Baru pada era reformasi keaadaanya berangsur berubah. Perayaan Imlek, misalnya, diakui sebagai hari libur fakultatif (masa Presiden Abdurrahman Wahid), dan era libur resmi (era kepemimpinan Mega). Barongsai dipertunjukkan di mana-mana. Sejarah kelenteng diulas di televisi.
Tampaknya, perjalanan warga Tionghoa masih panjang untuk mendapatkan kedudukan yang sederajat dengan etnis lain di Tanah Air. Diskriminasi di bidang hukum masih berlaku terhadap etnis Tionghoa. Tidak kalah, diskriminasi di bidang sejarah. Sumbangan amat besar Tionghoa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi selama berabad-abad Nusantara tidak pernah diajarkan kepada siswa. Perlu dicatat, etnis Tionghoa berjuang melawan Belanda. Di Kalimantan Barat, seperti diteliti sejarawan UGM Harlem Siahaan, kongsi Tionghoa pernah mengangkat senjata terhadap Belanda.

Salah seorang tokoh etnis Tionghoa yang berjasa kepada Republik ini adalah Mayor John Lie. Ia adalah mualim kapal pelayaran niaga milik Belanda KPM yang selalu bergabung dengan Angkatan Laut Ri. Semula ia bertugas di Cilacap dengan pangkat kelasi kelas tiga. Di pelabuhan ini selama beberapa bulan ia berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi pasukan Sekutu. Atas jasanya, pangkatnya dinaikkan menjadi mayor.
Ia lalu ditugaskan mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi kas negara yang saat itu masih tipis. Pada masa awal (tahun 1947), ia pernah ikut kapal yang membawa karet 800 ton untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di Singapura, Utoyo Ramelan. Sejak itu, ia secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda. Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Senjata yang mereka peroleh kemudian diserahkan kepada penjabat Republik yang ada di Sumatera seperti Bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan Belanda. Perjuangan mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, juga harus menghandang gelombang samudera yang relatif besar untuk ukuran kapal yang mereka gunakan.
Untuk keperluan operasi ini, John Lie menakhodai kapal kecil cepat, dinamakan the Outlaw. Seperti dituturkan dalam buku yang disunting Kustiniyati Mochtar (1992), paling sedikit sebanyak 15 kali ia melakukan operasi ”penyelundupan”. Pernah saat membawa 18 drum minyak kelapa sawit, ia ditangkap perwira Inggris. Di pengadilan di Singapura ia dibebaskan karena tidak terbukti melanggar hukum. Ia juga mengalami peristiwa menegangkan saat membawa senjata semiotomatis dari Johor ke Sumatera, dihadang pesawat terbang patroli Belanda. John Lie mengatakan, kapalnya sedang kandas. Dua penembak, seorang berkulit putih dan seorang lagi berkulit gelap, mengarahkan senjata ke kapal mereka. Entah mengapa, komandan tidak mengeluarkan perintah tembak. Pesawat itu lalu meninggalkan the Outlaw tanpa insiden, mungkin persediaan bahan bakar minipis sehingga mereka buru-buru pergi.
Setelah menyerahkan senjata kepada Bupatu Usman Effendi dan komandan batalyon Abusamah, mereka lalu dapat surat resmi dari syahbandar bahwa kapal the Outlaw adalah milik Republik Indonesia dan diberi nama resmi PPB 58 LB. Seminggu kemudian John Lie kembali ke Port Swettenham di Malaya untuk mendirikan naval base yang menyuplai bahan bakar bensin, makanan, senjata dan keperluan bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Pada awal 1950 ketika ada di Bangkok, ia dipanggil pulang ke Surabaya oleh KSAL Subiyakto dan ditugaskan menjadi komandan kapal perang Rajawali. Pada masa berikut ia aktif dalam penumpasan RMS di Maluku lalu PRRI/Permesta. John Lie yang juga dikenal dengan nama Jahya Daniel Dharma tetap berdinas di Angkatan Laut, terakhir berpangkat laksamana muda. Ia layak diusulkan sebagai pahlawn nasional.



Sumber: Asvi Warman Adam, membongkar manipulasi sejarah.

READ MORE

Agama dan Kepercayaan Kartini


Pembicaraan tentang Kartini seakan tidak pernah habis. Berbagai penulis luar dan dalam negeri menyorotinya dari berbagai aspek dengan berbeda perspektif dan kepentingan. Aspek spiritual keaagamaan tokoh emansipasi ini bisa dilihat dari sisi kejawen, Islam, dan Kristen.
Sebagaimana terlihat dari ketiga buku yang ditulis tentang Kartini. Pertama, Panggil Aku Kartini Saja, karya Pramoedya Ananta Toer (1962, cetak ulang tahun 2000); kedua, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia ditulis Ahmad Mansur Suryanegara (1995); Ketiga, Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini oleh Th.Sumartna (1993).
Ada usaha untuk menggambarkan figur Kartini sebagai wanita yang menganut paham sinkretisme. Kartini mengatakan, ia anak Budha, dan sebab itu pantang daging. Suatu waktu ia sakit keras, dokter yang dipanggil tak bisa menyembuhkan. Lalu datang seorang narapidana China yang menawarkan bantuan mengobati Kartini. Ayah Kartini setuju. Ia disuruh minimum abu lidi dari sesaji yang biasa dipersembahkan kepada patung kecil dewa China. Dengan itu ia dianggap sebagai anak dari leluhur Santik-kong dari Welahan. Setelah minimum abu lidi persembahan untuk patung Budha itu, Kartini memang sembuh. Ia sembuh bukan karena dokter, tetapi oleh obat dari ”dukun” Budha. Sejak itu Kartini merasa Kartini merasa sebagai ”anak” Budha dan pantang makan daging.
Pramoedya menulis ”Bagi Kartini semua agama sama, sedangkan nilai manusia terletak pada amalnya pada sesamanya, yaitu masyarakatnya”.
Kartini ”menemukan dan mengutamakan isi lebih daripada bentuk-bentuk dan syariat-syariat, yaitu kemuliaan manusia dengan amalnya pada sesama manusia seperti dibacanya dalam rumusan Multatuli ”Tugas manusia adalah menjadi Manusia”, tidak menjadi dewa dan juga tidak menjadi setan”.
Menurut Kartini ”Tolong menolong dan tunjang menunjang, cintai mencintai, itulah nada dasar segala agama. Dus kalau saja pengertian ini dipahami dan sebagaimana makna asal dan makna ilahiah daripada menegaskan, ”Agama yang sesungguhnya adalah kebatinan dan agama itu bisa dipeluk, baik sebagai Nasrani maupun sebagai Islam dan lain-lain.” (hlm. 234)

Kartini dan Al Quran
Dalam buku Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia ada sebuah bab berjudul Pengaruh Al Quran terhadap Perjuangan Kartini. Pandangan Kartini tentang Islam disoroti secara positif. ”Segenap perempuan bumiputra diajak kembali dalam agama Islam. Tidak hanya itu, Kartini bertekad berjuang, untuk mendapatkan rahmat Allah, agar mampu meyakinkan umat agama lain memandang agama Islam, agama yang dihormatinya” (surat kepada Ny. Van Kol, 21/7/1902).
Menurut Ahmad Mansur Suryanegara, Ny. Van Kol berusaha mengajak Kartini beralih kepada agama Kristen. Namun, hal ini ditolak sang putri Bupati Jepara itu. Bahkan, ia mengingatkan zending Protestan agar menghentikan gerakan Kristenisasinya. Jangan mengajak orang Islam memeluk Nasrani.
Sejak lama Kartini resah, sebab tidak mampu mencintai Al Quran, ”karena Al Quran terlalu suci, tiada boleh diterjemahkan ke dalam bahasa mana pun. Di sini tiada seorang pun tahu bahasa Arab. Orang di sini diajarkan membaca Al Quran, tetapi yang dibacanya tiada yang ia mengerti”. Demikian pengakuan dirinya tentang kebutaannya terhadap Al Quran kepada Stella Zeehandelaar (18 Agustus 1899). Kartini merindukan tafsir Al Quran agar dapat dipelajari.
Berapa bahagianya Kartini setelah mendapat penjelasan kandungan isi Al Quran, seperti digambarkan kepada EC Abendanon, ”Alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada melihat, tiada tahu, bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan di samping kami”. Disarankannya ada semacam perintah Allah berkehendak membuka hatimu, mengucap syukurlah!”
”Sekarang ini kami tiada mencari penghibur hati pada manusia, kami berpegang teguh di tangan-Nya. Maka hari gelap gulita pun menjadi terang dan angin ribut pun menjadi sepoi-sepoi” Kata habis gelap terbitlah terang selain tercetus 17 Agustus 1902 juga karena pengaruh caha yang menerangi lubuk hatinya. Minazh zhulumati ilan nur.” Ini tafsiran Ahmad Mansur Suryanegara.

Akrab dengan ajaran Kristen
Dalam buku yang ditulis Th. Sumartana diakui, Kartini ”lahir dan meninggal sebagai muslimat” (hal.67). Namun, ia memiliki kedekatan dengan ajaran Kristen. Bagaimana pendapatnya tentang zending? Berbeda dengan uraian Ahmad Mansur Suryanegara, Th. Sumartana melihat dari sudut pandang lain. Menurut dia, Kartini dianggap tidak jujur apabila zending ”memancing di air keruh” dan memperopagandakan agama Kristen di tengah orang Jawa yang miskin, penuh penyakit dan bodoh, tanpa lebih dulu mendidik mereka, mengobati dan menolong mereka dari kemiskinan. Iman dan kepercayaan yang benar menurut  Kartini hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang sudah benar-benar sadar memilih, dan mereka yang sudah dewasa (hal.47). Jadi bagi Th. Sumartana persoalannya bukanlah masalah mengkristenkan orang Islam, sebagaimana yang disoroti banyak ulama.
Kartini menggambarkan, ada hubungan dekat dan intim antara dirinya dengan Tuhannya. Kedekatannya dengan Tuhaan itu pada gilirannya memperoleh gambaran tertentu yang diambil dari kehidupan keluarganya sendiri, yaitu hubungan bapak dan anak. Ia sendiri amat dekat dengan ayahnya. Meski dalam banyak perkara mereka tidak sependapat, hal itu tidak mengurangi kasih sayang dan saling menghormati di antara mereka berdua. Sebab itu ketika Ny. Van Kol mengintroduksi ungkan itu dianggap tepat, sebagai cetusan pengalaman batinnya sendiri. Dengan demikian, dapat dipahami jika dalam surat-surat Kartini ungkapan Tuhan sebagai Bapa yang penuh kasih sayang tersebar di sana-sini. Dalam suratnya kepada Ny. Van Kol tanggal 20 Agustus 1902, ia menulis: ”Ibu sangat gembira....beliau ingin sekali bertemu dengan Nyonya agar dapat mengucapkan terima kasih secara pribadi kepada Nyonya atas keajaiban yang telah Nyonya ciptakan pada anak-anaknya;Nyonya telah membuka hati kami untuk menrima Bapa Cinta Kasih!”
Pada surat lain, Kartini menulis ”Agama dimaksudkan supaya memberikan berkah. Untuk membentuk tali persaudaraan di antara semua makhluk Allah, berkulit putih dan coklat. Tidak memandang pangkat, perempuan atau lelaki, kepercayaan semuanya kita ini anak dari Bapa yang Stu itu, Tuhan yang Maha Esa!”
Dari Ny. Van Kol pula Kartini belajar membaca Alkitab. Dan mengerti sebagian dari beberapa prinsip teologis dari ajaran Kristen. Bahkan, turut pula mengambil alih beberapa kata yang punya arti tertentu dalam cerita Alkitab, seperti taman Getsemani, tempat Yesus berdoa dan menderita sengsara.
Dalam surat kepada Ny. Van Kol Agustus 1901, Kartini menyebut derita neraka yang dialami kaum perempuan disebabkan ajaran Islam yang disampaikan guru agama pada saat itu. Agama Islam seolah membela egoisme lelaki. Menempatkan lelaki dalam hubungan yang amat enak dengan kaum perempuan., sedangkan kaum perempuan harus menanggung segala kesusahannya. Perkawinan cara Islam pada saat itu, dianggap tidak adil oleh Kartini. (hal 41).
Itu bukan dosa, bukan pula aib; ajaran Islam mengijinkan kaum lelaki kawin dengan wmpat orang wanita sekaligus. Meski hal ini seribu kali tidak boleh disebut dosa menurut hukum dan ajaran Islam, selama-lamanya saya tetap menganggapnya dosa. Semua perbuatan yang meyebabkan sesama manusia menderita, saya anggap sebagai dosa. Dosa ialah menyakiti makhluk lain; manusia atau binatang. (hal 41)
Kritik Kartini yang keras terhadap poligami mengesankan ia anti-Islam. Tetapi, sebetulnya tidak demikian, ujar Haji Agus Salim. ”Suara itu harus menjadi peringatan pada kita bahwa besar hutang kita dan berat tanggapan kita akan mengobati kecelakaan dan menolak bahaya itu. Dan kepada almarhumah yang mengeluarkan suara itu, tidaklah mengucapkan cela dan nista, melainkan doa mudah-mudahan diampuni Allah kekurangan pengetahuannya dengan karena kesempurnaan cintanya kepada bangsanya dan jenisnya” (hal 43).
Ternyata kemudian Kartini tidak jadi belajar ke negeri Belanda. Ia menerima lamaran Bupati Rembang yang sudah beristri tiga dan punya anak tujuh. Kartini memang manusia biasa dengan segala keterbatasannya. Namun, wacana tentang perempuan yang satu ini masih tetap hidup, baik dikalangan penganut kepercayaan, Islam maupun Kristen, dengan berbagai versi dan beraneka kepentingan. Ia tampaknya ditakdirkan menjadi milik semua golongan.

Sumber: Asvi Warman Adam, membongkar manipulasi sejarah.
READ MORE
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...