ecara sederhana, masa pemerintahan Soeharto (1966-1998) dapat dibagi atas tiga periode yang masing-masing terdiri dari sekitar satu dekade (batasnya sebetulnya tidak terlalu tegas). Masa tersebut terdiri atas masa awal, masa perkembangan/kejayaan, dan akhirnya masa penurunan/kejatuhan.
Dalam periode pertama, Soeharto yang pada mulanya diragukan banyak orang untuk memimpin bangsa ini berusaha menumbuhkan kekuasaannya secara perlahan-lahan. Ia begitu tangkas bertindak tanggal 1 Oktober 1965. Hari-hari dan bulan-bulan berikutnya adalah masa pembantaian terhadap orang-orang yang dicurigai menjadi anggota PKI yang jumlah korbannya diperkirakan antara 500.000 sampai sejuta orang. Ia membubarkan PKI tanggal 12 Maret 1966 walau jauh sebelumnya anggota partai ini sudah ditangkap, ditahan, dan dibunuh.
Pada era perang dingin di mana terjadi pertentangan tajam antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat Dan Blok Timur yang didominasi Uni Soviet, maka peristiwa itu lebih banyak ditanggapioleh pers barat sebagai sesuatu yang ”salah tetapi perlu”. (Pada masa selanjutnya, pelanggaran hak asasi dan diskriminasi terhadap kelompok kiri ini dan keluarganya masih diteruskan).
Setelah diangkat menjadi Penjabat Presiden tahun 1967 dan Presiden tahun 1968, perhatian utama Soeharto adalah pemulihan ekonomi yang sangat merosot pada akhir pemerintahan Sukarno. Soeharto berprinsip bahwa pembangunan ekonomi memerlukan stabilitas keamanan baik secara nasional maupun regional. Indonesia segera memulihkan hubungan dengan Malaysia, kembali menjadi anggota PBB, mensponsori pembentukan ASEAN dan kemudian menjadi motor penggerak organisasi regional tersebut.
Keamanan dalam negeri harus terjamin agar penanaman modal asing yang diperlukan tidak terganggu. Tindakan represif dilakukan baik terhadap pers, mahasiswa maupun kelompok masyarakat yang mencoba melakukan kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah.
Ia mempunyai pembantu dekat yang terdiri dari berbagai kelompok, terutama beberapa fraksi militer/intelijen dan para ekonom dari Universitas Indonesia. Dengan penuh perhatian ia mendengar keterangan dan penjelasan dari para menteri ekonominya, meskipun setelah 10 tahun kemudian ia dapat menguasai persoalan teknis tersebut. Terhadap para jenderalnya ia membuat mereka tergantung kepada dia dan satu sama lain saling mencurigai dan tidak ada ”putra mahkota” di bawah dia.
Kriteria anggota kabinetnya adalah orang yang punya keahlian, loyal, dan dapat bekerja sama dalam satu tim. Menteri yang diangkatnya dapat menjabat satu periode atau berkali-kali, rakyat tidak pernah tahu kriteria keberhasilan atau kegagalan seorang menteri, semua tergantung kepada Presiden. Bila seorang telah dipilihnya, akan dia bela mati-matian meskipun keliru dalam bertugas. Ia juga sangat memerhatikan kesejahteraan bawahannya. Sebaliknya, orang yang mencoba menentangnya secara terbuka akan direjamnya habis-habisan. Kritik yang tajam yang dikeluarkan oleh 50 tokoh nasional tahun 1980 disambut Soeharto dengan bengis. Para penandatangan Petisi 50 itu tidak pernah diundang dalam acara resmi kenegaraan di istana. Bisnis mereka dibabat. Mereka benar-benar dikucilkan dalam masyarakat.
Peristiwa Malari 1947 menjadi tonggak penting perubahan Soeharto dalam memerintah. Ketika itu terjadi demonstrasi mahasiswa yang menentang modal asing ketika PM Tanaka berkunjung ke Jakarta yang diikuti dengan pembakaran mobil Jepang di jalan-jalan. Soeharto sangat marah, karena demonstrasi semacam itu akan menyebabkan larinya modal modal asing yang dibutuhkan untuk pembangunan Indonesia. Ia juga mencurigai adanya orang lain yang ingin mendongkel kedudukannya. Pangkopkamtib (Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) waktu itu Jenderal Sumitro disingkarkan. Soeharto yang muah senyum itu kini berwajah dingin. Sejak saat itu buka saja berwaspada kepada lawan-lawan politinya, tetapi juga kepada rekan-rekan dan bawahannya yang memiliki potensi untuk berkuasa.
Agar pembangunan ekonomi berhasil perlu stabilitas keamanan nasional. Sebab itu Soeharto juga tidak ingin ada konflik di tengah masyarakat yang menyangkut SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan). Konflik antar etnis yang potensinya sudah mulai tampak sejak Orde Baru dilarang didiskusikan dan disimpan di bawah karpet. Pembangunan ekonomi yang dijalankan sejak Orde Baru terutama di Indonesia Timur seperti Irian Jaya dan kemudian Timur Timur setelah tahun 1976 menimbulkan persoalan baru. Para imigran dari Sulawesi (Bugis-Buton-Makasar) menguasai perekonomian setempat dan sementara orang Jawa mendominasi birokrasi karena penduduk lokal belum mampu menduduki jabatan tersebut.
Ia sangat lihai membungkus ambisi dengan menonjolkan citranya sebagai anak desa, pakai oblos di rumah, mudah senyum, suka beternak dan memancing. Namun, dibalik senyumannya itu ia mengetahui pembunuhan ribuan orang jalanan yang ditembak ”petrus” (pembunuh misterius) yakni penembakan terhadap para preman atau residivis kriminal yang mayatnya ditaruh ditempat umum antara tahun 1983-1985 yang jumlahnya mencapai 5.000 jiwa. Mereka yang terbunuh mempunyai ciri umum yaitu memiliki tato di tubuhnya.
Seluruh Kekuasaan
Dalam periode kedua, ia sudah berhasil mengumpulkan seluruh kekuasaan ditangannya. Ia bukan hanya mengangkat menteri tetapi mengetahui dan merestui pengangkatan seluruh jajaran eksekutif seperti gubernur, wali kota, bupati, bahkan Gubernur Bank Sentral. Soeharto juga mengangkat sebagian anggota perlemen yang tidak dipilih melalui pemilu. Untuk menjadi ketua partai, bahkan menjadi ketua Palang Merah Indonesia, orang juga harus memperoleh restu dari dia. Dalam bidang hukum dan kehakiman ia juga menancapkan kukunya, pengangkatan hakim agung dan Ketua Mahkamah Agung tergantung kepada Soeharto. Dalam bidang bisnis, ia juga memilih Direktur Utama Badan Usaha Milik Negara (BUMN) apalagi yang sangat vital seperti Pertamina, kebijakan yang penting dari BUMN tersbut juga menunggu persetujuan dia.
Kalangan profesional dikendalikan dengan mengharuskan mereka berhimpun dalam wadah tunggal (wartawan, dokter, buruh, pengusaha) dan pengurusnya harus mendapat restu dari Soeharto. Saat berkuasa sedemikian besar, maka dengan mudah pembredelan pers yang mencoba mengkritik kebijakan dia dan pembantunya. Majalah Tempo, Editor, dan Detik ditutup tahun 1994. Pelarangan buku yang tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah, terus dilakukan sejak awal Orde Baru.