Biografi Nurdin Halid si raja sepakbola Indonesia

DELAPAN tahun terakhir, organisasi sepak bola nasional (baca: PSSI) menjadi sorotan. Sejumlah masalah mengadang dengan berbagai sudut pandang. Selama kepemimpinan Nurdin Halid, PSSI yang didirikan pada 19 April 1930 itu lebih banyak memunculkan sisi kontroversi dibandingkan prestasi. Karut marutnya sepak bola nasional belakangan bukan karena minimnya potensi dan sumber daya yang dimiliki. Tapi, lebih kepada inkompetensi di pucuk pimpinan. Sumber masalah utama ada di Nurdin Halid. Satu kepala itu hanya mampu menghadirkan sejuta masalah.

Untuk mengenal sosok Nurdin Halid cukup mudah. Karakter dan kepribadiannya dapat dilihat
dalam biografinya setebal 234 halaman yang ditulis rekan Yosef Tor Tulis dengan judul Pendekar Bola dari Bugis”. Kesimpulannnya, Puang Nurdin, begitu ia biasa disapa, memang pecinta sepak bola sejati, pebisnis kaya improvisasi, dan piawai berorganisasi. Tapi, ia sosok ambisius yang menghalalkan segala cara untuk mempertahankan posisi dan kepentingannya.

Darah sepak bola sudah mengalir dalam diri Nurdin lewat Andi Abdul Halid, sang ayah. Sejak usia delapan tahun, Nurdin sudah menimang-nimang si kulit bundar. Mulai bola yang terbuat dari kain bekas yang diikat dengan daun pisang, sampai dengan kulit jeruk. Ia pernah jadi striker sampai kiper. Kakinya pernah mendapatkan jahitan sepanjang tiga sentimeter karena tulang betis kaki kirinya diterjang lawan. Kepalanya pernah bocor akibat lemparan botol saat memanajari PSM melawan Persipura di semifinal LI 1995/1996.

Puang, begitu Nurdin biasa disapa, pernah berlabel sebagai manajer Rp 1 miliar. Sempat jadi manajer timnas, Ketua Pengda PSSI Sulawesi Selatan, Ketua Bidang Pembinaan dan Prestasi PSSI, sampai akhirnya menduduki kursi nomor satu di PSSI. Wajar, Pria kelahiran Watampone, 17 September 1958, ini paham betul “kebobrokan” sepak bola nasional. Tak aneh, bila kemudian ia berani “mengelabui” Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA).

Dipihak lain, jiwa bisnis sudah terekam dalam kegiatannya semasa jadi mahasiswa. Puang kuliah di jurusan bisnis perusahan IKIP Makassar. Ia tak malu berjualan ‘diktat’ dan kaos sablon. Ia pernah menjabat sebagai pengurus Penggilingan Padi (Perbadi) sampai Ketua Umum Induk Koperasi Unit Desa (Inkud). Bisa jadi, naluri bisnis yang dimiliki “menggiringnya” untuk melakukan impor ilegal minyak goreng, gula, dan beras, yang akhirnya menggiringnya hidup dalam pengasingan di balik jeruji besi.

Nurdin pun masuk kategori anak cerdas dan pandai berorganisasi. Sejak Sekolah Dasar, ia selalu jadi bintang kelas. Ia piawai berdeklamasi, menari, dan berdiplomasi. Pernah aktif di OSIS, kegiatan Pramuka, sampai senat Mahasiswa. Kecerdasan dan kepandaian berdiplomasi mengantarkanya masuk jajaran pengurus KNPI, AMPI, dan pengurus Golkar. Dari sinilah Nurdin tampil sebagai anggota DPR RI dan akhirnya mencetak sejarah sebagai anggota dewan yang dilantik, dan sehari kemudian masuk penjara.

Dalam biografinya, tersirat jelas Nurdin begitu terobsesi mencatatkan sejarah dalam setiap langkahnya. Setidaknya, itu sudah dilakukannya di sepak bola. Saat terpilih sebagai Ketua Umum PSSI pada 21 Oktober 2003 menggantikan Agum Gumelar sejumlah catatan penting ditorehkannya.

Bahkan, ia pantas masuk Museum Rekor Indonesia (MURI) pimpinan Jaya Suprana. Nurdin satu-satunya Ketua Umum PSSI atau induk olahraga di Indonesia yang mengumumkan kabinetnya lewat siaran langsung layaknya Presiden Indonesia mengumumkan para menterinya. Ia satu-satunya Ketua Umum PSSI yang mampu meyakinkan Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) untuk menunjuk Indonesia sebagai tuan rumah Piala Asia untuk kali pertama. Ia juga satu-satunya Ketua Umum PSSI yang mampu menggelar Munas di luar Jawa sejak berdiri pada 1930 yang dibuka oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla dan disiarkan langsung melalui televisi ke seantero Nusantara. Ia juga satu-satunya Ketua Federasi Sepak Bola di dunia yang menempatkan 124 personel dalam kepengurusan 2007-2011. Terbesar di dunia. Melebihi kabinet AFC, bahkan FIFA.

Di sisi lain, Nurdin satu-satunya Ketua Umum PSSI yang dua kali masuk penjara. Nurdin satu-satunya Ketua Umum PSSI yang selalu mengubah format kompetisi setiap tahunnya dan dengan mudah memberikan pengampunan terhadap pelaku sepak bola yang mencederai fair play lewat hak prerogatifnya. Ia orang pertama yang mampu menggelar Munas dan Munaslub dalam interval tak lebih dari satu hari. Ia juga satu-satunya Ketua Umum PSSI yang mampu memberikan oleh-oleh ikan baronang senilai Rp 3 juta kepada peserta Munas di Makassar, 20 April lalu. Ia juga satu-satunya Ketua Umum PSSI yang berani mengelabui dan melawan FIFA dengan mendistosri statuta FIFA. Kiranya, rentetan “fenomena” yang dibuatnya di PSSI sudah cukup sebagai bahan membuat biografi “Pendekar Bola dari Bugis” Jilid II bahkan sampai III.

Sebagai orang yang matang dalam mengurus sepak bola, bisnis, sampai organisasi, sang Puang pun seharusnya sudah paham dengan “kesalahan” yang dilakukannya di PSSI, saat ini. Ia banyak melakukan manipulasi. Merusak sistem kompetisi dengan berbagai kepentingan yang dilakukan (beberapa kali meniadakan degradasi, mengubah format, bahkan ada indikasi terlibat pengaturan skor pertandingan dan juara).

Uniknya, Puang tetap “ngeyel” mempertahankan jabatannya meski FIFA jelas-jelas beberapa kali memberikan teguran keras. Ia bergeming dengan permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Menpora Adhiyaksa Dault maupun Andi Alifian Mallarangeng, sampai Ketua KON/KOI Rita Subowo untuk legowo meletakkan jabatannya. Ia yang mengaku begitu mencintai sepak bola seharusnya tak mengorbankan sepak bola demi kepentingan pribadinya.

Anehnya, anggota Komite Eksekutif PSSI yang seharusnya menjadi kontrol kepemimpinan habis-habisan membelanya dengan menyebut AFC hanya meminta PSSI mengubah statuta FIFA dan tak perlu melakukan pemilihan ulang. Uniknya lagi, Pengda dan sejumlah klub yang notabene punya hak suara juga diam saja lantaran sudah dininabobokan oleh sejumlah janji-janji manis sang Puang yang memang piawai dalam berdiplomasi. Kini, harapan satu-satunya tinggal menunggu hati nurani dari Nurdin, suami Andi Nurbani.

Dalam nuraninya, Nurdin Halid yang secara leksikal berarti “cahaya agama yang kekal”, tentu tak ingin disebut musuh nomor satu sepak bola nasional bila kelak sepak bola nasional hancur lebur akibat ulahnya. Nurdin Halid, yang telah memberikan sedikit cahaya dalam perjalanan sepak bola nasional, tentu, tak ingin namanya diganti menjadi Nurdin (Habis) gara-gara menceburkan sepak bola Indonesia ke jurang kenistaan.

Ia selalu merasa sudah memberikan yang terbaik untuk sepak bola. Dengan bertameng buku visi misi 2020, Nurdin mengaku sudah sangat memahami peta permasalahan di sepak bola nasional. Ia memang jago berdiplomasi dan membuat kisi-kisi lewat berbagai program yang dicanangkan. Tapi, sayangnya semua hanya “macan” kertas. Tak ada realisasi. Tak ada prestasi. Yang ada upaya mempertahankan posisi dan semaksimal mungkin mengeruk keuntungan pribadi dari sepak bola nasional yang mesin uangnnya berasal dari uang rakyat (baca: APBD).

Nurdin selalu merasa benar. Tak mau disalahkan. Selalu merasa paling hebat, meskipun sebenarnya ia banyak membuat kebijakan yang sesat. Selalu bikin masalah yang sebenarnya ia sendiri tak mampu menyelesaikannya. Jadi, berharap ada penyelesaian masalah dari orang yang membuat masalah hanya akan menimbulkan masalah baru.

Demi sepak bola Indonesia yang lebih baik hanya ada satu jalan yang bisa dilakukan: reformasi total dan meminta satu kepala dengan sejuta masalah itu meletakkan jabatannya. Legowo lah, Puang! Agar Nurdin Halid tak berganti nama menjadi Nurdin (Habis)!

Oleh: Akmal Marhali
Wartawan Sepak Bola Nasional Terbaik Versi FIFA-AFC
Source

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...