T |
ahun 2003 saat menyongsong hari raya Imlek, ada sebuah tulisan di Kompas, 31 Januari 2003, tentang peran John Lie dalam mempertahankan kemerdekaan RI sehingga ia layak diangkat sebagai pahlawan nasional.
Beberapa waktu lalu penulis di berita Kompas (kebetulan penulis asli artikel ini), dia ditelepon oleh seorang tokoh Tionghoa yang juga pengacara. Ia mengatakan, pihak Sekretaris Militer Kepresidenan yang berperan dalam pengurusan pahlawan itu telah menghubunginya dan meminta nama seorang tokoh Tionghoa yang patut diangkat sebagai pahlawan, tetapi yang berjuang pada beberapa abad yang silam. Mungkin salah seorang kapitan China yang pernah berontak melawan kolonial Belanda. Terlepas dari benar atau tidaknya ada komunikasi antara pihak dia dan pihak istana, bagi saya yang mengherankan adalah mengapa sang pahlawan mesti dari beberapa abad lalu. Bukankah John Lie sebenarnya sudah memenuhi syarat untuk itu.
Keberatan terhadap pengangkatan John Lie sebagai pahlawan nasional mungkin karena beberapa hal, dan dibawah ini penulis mencoba memberikan reaksi balik. Pertama, John Lie adalah seorang perwira Angkatan Laut. Mungkin lebih diterima adalah Angkatan Darat. Namun, alasan itu tidak tepat juga karena di deretan pahlawan nasional juga ada yang berasal dari angkatan laut, seperti Jos Sudarso. John beragama Kristen. Itu tidak menjadi soal. John dalam berlayar membawa kitab suci Injil. Ketika kapalnya ditembaki meriam kapal Belanda, ia masih sempat berdoa. Mugkin itu dilebih-lebihkan. Tulisan itu terdapat di majalah Life International dengan judul With One Hand the Bible ang the Other a Gun. Namun, andaikata benar juga tidak apa-apa. Malah memberikan nilai tambah kepadanya, karena ia berjuang dengan disertai keyakinan agama juga.
Mungkin alasan penolakan yang paling berat adalah karena John Lie dianggap sebagai penyelundup. Tudingan itu sebenarnya keliru. Ia adalah mualim pada kapal pelayaran niaga milik Belanda KPM yang kemudian bergabung dengan Angkatan Laut RI. Pada mulanya ia bertugas di Cilacap dengan pangkat kelasi kelas tiga. Di pelabuhan ini selama beberapa bulan ia berhasil membersihkan ranjau yang ditanam oleh Jepang untuk menghadapi pasukan Sekutu. Atas jasanya ini pangkatnya dianikkan menjadi mayor.
Selanjutnya, ia ditugaskan untuk mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi kas negara yang saat itu masih tipis. Pada masa awal (tahun 1947), ia pernah ikut kapal yang membawa karet 800 ton untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di Singapura, Utoyo Ramelan.
Sejak saat itu ia secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda. Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Barter itu terjadi ditengah laut bukan di pelabuhan yang dikuasai Inggris. Bila diperiksa, mereka mengaku membawa tekstil dan ban mobil. Senjata yang mereka peroleh kemudia diserahkan kepada pejabat republik yang ada di Sumatera, seperti Bupati Riau, sebagai sarana perjuangan melawan tentara Belanda.
Perjuangan mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, Republik yang ada di Sumatera seperti Bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan Belanda. Perjuangan mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, juga harus menghandang gelombang samudera yang relatif besar untuk ukuran kapal yang mereka gunakan. Untuk keperluan operasi ini, John Lie menahkodai kapal kecil cepat. Seperti dituturkan dalam buku yang disunting Kustiniyati Mochtar (1992), paling sedikit 15 kali ia menembus blokade musuh. Pernah ketika membawa 18 drum minyak kelapa sawit, ia ditangkap perwira Inggris. Di pengadilan Singapura ia dibebaskan karena tidak terbukti melanggar hukum.
Ia juga mengalami peristiwa menegangkan saat membawa senjata semiotomatis dari Johor ke Sumatera, dihadang pesawat terbang patroli Belanda. John Lie mengatakan, kapalnya sedang kandas. Dua penembak, seorang berkulit putih dan seorang lagi berkulit gelap, mengarahkan senjata ke kapal mereka. Entah mengapa, komandan tidak mengeluarkan perintah tembak. Pesawat itu lalu meninggalkan the Outlaw tanpa insiden, mungkin persediaan bahan bakar minipis sehingga mereka buru-buru pergi.
Setelah menyerahkan senjata kepada Bupatu Usman Effendi dan komandan batalyon Abusamah, mereka lalu dapat surat resmi dari syahbandar bahwa kapal the Outlaw adalah milik Republik Indonesia dan diberi nama resmi PPB 58 LB. Seminggu kemudian John Lie kembali ke Port Swettenham di Malaya untuk mendirikan naval base yang menyuplai bahan bakar bensin, makanan, senjata dan keperluan bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Ferdy Salim yang kemudian beberapa kali menjadi Duta Besar Indonesia juga pernah ikut dalam kapal John Lie dalam misinya menemui Daoed Beureuh. Kunjungan ini berhasil. Tokoh Aceh ini kemudian memberi mandat kepada wakil Pemerintahan Indonesia di Singapura untuk menerima semua devisa Aceh yang waktu itu terkumpul di Penang.
Pada awal 1950 ketika ada di Bangkok, ia dipanggil pulang ke Surabaya oleh KSAL Subiyakto dan ditugaskan menjadi komandan kapal perang Rajawali. Pada masa berikut ia aktif dalam penumpasan RMS di Maluku lalu PRRI/Permesta. John Lie yang juga dikenal dengan nama Jahya Daniel Dharma tetap berdinas di Angkatan Laut, terakhir berpangkat laksamana muda. Sebetuknya tidak ada alasan untuk menunda lagi pengangkatan John Lie sebagai pahlawan nasional. Kenapa pemerintah masih setengah hati seperti halnya tahun lalu memberi bintang jasa kepada Fifi Young dan Tan Tjeng Bok tetapi bukan gelar pahlawan.
Tidak ada manusia yang sempurna, demikian pula semua pahlawan nasional yang telah maupun yang akan diangkat. Namun paling tidak, mereka telah berjuang dan sebagian hidupnya diabdikan membela kepentingan bangsa dan negara. Itu akan menjadi suri teladan bagi generasi sekarang dan mendatang.
Pengangkatan John Lie sebagai pahlawan nasional akan mempunyai dampak besar. Pertama, orang Tionghoa pun bisa berdinas dalam didang kemiliteran bahkan menjadi pahlawan. Kedua, ini akan menjadikan etnis Tionghoa setara dengan etnis lainnya di Tanah Air karena telah terbukti berjuang dan berjasa dalam membela kemerdekaan RI.
Sumber: Asvi Warman Adam, membongkar manipulasi sejarah.
No comments:
Post a Comment