Agus Salim, Si Manusia Merdeka


Agus Salim di lahirkan di Kota Gadang, Bukit Tinggi, tahun 1884 dan wafat di Jakarta tahun 1954. Ketika dilahirkan beliau bernama Masyudul Haq, nama dari seorang tokoh dari sebuah buku yang dibaca ayahnya, Sultan Mohammad Salim. Nama adalah doa, kata nabi, maka dalam pemberian nama tersebut terkandung harapan agar sang anak kelak menjadi  “pembela kebenaran”. Kerika masyudul kecil, ia diasuh oleh seorang pembantu berasal dari Jawa yang memanggil anak majikannya “den bagus”, kemudian dipendek menjadi “gus”. Kemudian teman sekolah dan guru-gurunya memanggil “Agus”.


Ketika Agus berusia enam tahun, ayahnya menjadi jaksa untuk pengadilan di daerah Riau dan  sekitarnya. Agus diterima pada sekolah Belanda ELS (Europeese Lager School). Setelah lulus dari ELS ia dikirim ke batavia untuk belajar di HBS (Hogere Burger School). Ia lulus dengan angka tertinggi tidak saja disekolahnya , tetapi juga untuk sekolah HBS lain (Bandung dan Surabaya). Namanya menjadi terkenal di seantero Hindia Belanda di kalangan kaum kolonial dan terpelajar.
Agus kemudian mengajukan permohonan beasiswa untuk belajar kedokteran di negeri Belanda. Tampaknya permohonan ini ditolak, sesungguhnya dalam korespondensi antara Kartini dan Nyonya Abendanon, nama Agus Salim disebut-sebut. Kartini merima keputusan pemberian beasiswa pendidikan sebesar 4.800 gulden untuk belajar di Belanda tahun 1903. Orangtua Kartini melarang pergi dan dalam waktu dekat putri sang bupati itu akan memasuki gerbang perkawinan.
Kartini mengusulkan pada Nyonya Abendanon agar beasiswa tersebut diberikan pada pemuda Salim, juara pada ketiga HBS tersebut. Kenyataannya tidak terjadi pengalihan beasiswa, keliahataannya agus sendiri tidak mengetahui namanya disebut dalam korespodensi tersebut. Kemudian tahun 1905, Snouck Hurgronye mengusulkan kepada Pemerintah Belanda eksperimen penempatan tenaga pribumi pada perwakilan Belanda di luar Negeri. Agus mendapat tawaran bekerja pada konsulat Belanda di Jeddah sebagai penerjemah dan mengurus urusan haji. Di kota ini ia memperoleh kesempatan untuk memperdalam ilmu agama (Islam).
Sepulang dari tanah suci, Salim sempat bekerja pada dinas pekerjaan umum. Namun, ia keluar dari birokrasi Belanda dan mendirikan sekolah swasta di kampungnya di Kota Gadang. Hanya sebentar, ia berangkat lagi ke Jakarta dan selanjutnya terjun ke dunia politik melalui SI (Syarikat Islam). Semasa penjajahan Belanda, ia memang tidak pernah ditangkap belanda. Baru setelah Indonesia merdeka ia beberapa kali diasingkan bersama dengan pemimpin nasional lainnya.
Mengapa Belanda tidak menangkapnya? Salah satu kemungkinan jawabannya adalah terletak pada gaya bahasa Agus Salim yang kritis dan tajam, tetapi disampaikan secara halus dan cerdas. Ia beberapa kali menjadi pengelola surat kabar dan sangat produktif menulis baik tajuk rencana maupun artikel lainnya. Dalam Harian Neratja, 25 September 1917. Ia menulis Dalam negeri kita, janganlah kita yang menumpang.
XxxX
Setelah Indonesia merdeka, ia beberapa kali menduduki posisi menteri muda dan kemudian menteri luar negeri. Pengakuan negara-negara Arab tahun 1947 dapat dianggap sebagai jasa Agus Salim bersama beberapa tokoh nasional lainnya. Sebelumnya, sempat selama tiga bulan mereka mengembara di Timur Tengah dengan kondisi keuangan yang sangat terbatas sebagai utusan negara yang baru merdeka.
Setelah menjadi dosen tamu di Universitas Cornell, ia mampir di Washington dan bertemu dengan warga Indonesia. Inilah petikan pesannya kepada pemuda yang masih relevan dengan kondisi kita sekarang, “Begitu pula di Tanah Air kita. Janganlah pemuda-pemuda Indonesia bimbang tentang adanya berbagai –bagai partai. Bukan uniformitas yang mencapaikan tujuan yang tinggi-tinggi, tetapi besef, kesadaran tentang unitas (unity­) dalam berlain-lainan asas, dalam berlain-lainan pendapat, satu bangsa, satu Tanah Air, selamat sama selamat, celaka sama celaka, Bukan satu saja, bukan uniform, tapi gerich of het gemeenshappelijk nut, bertujuan pada keselamatan bersama karena keselamatan masing-masing yang tidak membawa keselamatan bersama tidak akan tercapai”.
Selain penghargaan terhadap demokrasi, Agus Salim juga sangat memperhatikan bidang hukum. Dalam Harian Fadjar Asia, 29 November 1927, ia menulis tentang Polisi dan Rakyat: Sikap polisi terhadap rakyat, keistimewaan keganasan dan kebuasan polisi dalam memeriksa orang yang kena dakwa atau yang hanya kena sangka-sangka rupanya belum berubah-buah. Hampir setiap hari ada pesakitan di depan landraad yang mencabut ”pengakuan” di depan polisi yang lahir bukan betul kejadian melainkan hanya karena kekerasan siksa. Agus Salim juga menaruh perhatian khusus terhadap para hakim. ”Jika negeri hendak selamat, haruslah pengadilan berderajat tinggi dalam anggapan orang ramai di negeri ini. Dan hakim-hakim, istimewa yang mengelapai majelis pengadilan wajiblah selalu menunjukkan sikap kebesaran yang anggun, disertai kesabaran, keramahan dan kemurahan, yang menunjukkan ia menjaga jalannya hukum dengan sungguh-sungguh, dengan memakai timbangan yang jernih, yang sekali-sekali tidak boleh kecampuran pengaruh cinta dan benci, yang kira-kira boleh memincangkan teraju timbangannya”. (Fadjar Asia, 26 Juni 1928)
Orangtua yang pandai ini sangat seorang jenius dalam bidang bahasa, mampu berbicara dan menulis dengan sempurna dan paling sedikit sembilan bahasa, mempunyai hanya satu kelemahan, yaitu selama hidupnya melarat, demikian penilaian Prof. Schermerhorn yang ditulis dalam catatan hariannya Senin malam tanggal 14 Oktober 1946.
Bahkan oleh wartawan yang juga aktivis sosialis Belanda, Jef Last, dikatakan bahwa Agus Salim juga menguasai ”bahasa kambing dan kuda”. Dalam suatu pertemuan setiap akhir kalimat yang disampaikan Agus Salim disambut oleh para pemuda dengan sahutan mbek, mbek, mbek. Itu untuk mengejek janggutnya yang panjang seperti janggut kambing. Salim menukas ”Tunggu sebentar. Sungguh menyenangkan, kambing-kambing pun mendatangi ruangan ini untuk mendengarkan pidato saya. Sayang mereka kurang mengerti bahasa manusia sehingga menyela dengan cara yang kurang pantas. Saya menyarankan kepada mereka agar keluar ruangan sekadar makan rumput di lapangan. Kalau pidato saya untuk manusia ini selesai, mereka akan disilakan masuk kembali dan saya akan berpidato kembali dalam bahasa kambing untuk mereka”. Keadaan menjadi terbalik, para pemuda itu tidak keluar tetapi diam karena malu.
Salim mendidik putra-putrinya sendiri di rumah, tidak disekolahkan di sekolah Belanda. Jef Last bertanya mengapa putra Agus Salim (yaitu Islam Salim) begitu fasih dalam bahasa Inggris padahal tidak belajar di sekolah? Jawab Agus ”Apakah Anda pernah mendengar tentang  sebuah sekolah tempat kuda belajar meringkik? Kuda-kuda tua meringkik sebelum kami dan anak-anak kuda ikut meringkik. Begitu pun saya, meringkik dalam bahasa Inggris dan putra saya juga meringkik dalam bahasa Inggris”.
Meskipun seorang poliglot yang mahir banyak bahasa, namun Agus Salim justru yang pertama kali berpidato dalam bahasa Melayu/ Indonesia pada sidang Dewan Rakyat (Volksraad) sehingga menggegerkan Belanda. Karena apa yang telah diputusakan oleh lembaga ini tidak diindahkan oleh pemerintahan Hindia Belanda, Salim keluar dari dewan tersebut tahun 1923. Ia menamakan Volksraad sebagai ”komedi omong”.
XxxX
KEMAMPUAN bahasa dan keluasan ilmu pengetahuan menyebabkan Salim menguasai suatu diskusi atau percakapan. Prof. George Kahin menuturkan bahwa suatu hari ia mengundang Agus Salim dan Ngo Dinh Diem makan di ruang dosen Cornell University. Salim waktu itu sebagai pembicara tamu di Universitas tersebut sedang mengumpulkan dukungan bagi Vietnam Selatan.
Tokoh yang dikenal jago ngomong itu kemudian menjadi Perdana Menteri di negerinya. Kahin terperangah karena kedua tokoh itu ternyata sudah asyik berdebat dalam bahasa Perancis. Ternyata Salim dapat membuat Diem menjadi pendengar saja. Ketika mengajar di Cornell, Agus tidak melupakan kebiasaan menghisap rokok kretek, sehingga para muridnya menjadi tidak asing lagi dengan bau eksotik itu.
Salim juga tidak minder dalam berhadapan tokoh asing. Ketika mewakili Presiden Sukarno mwnghadiri upacara penobatan Ratu Inggris Elisabeth tahun 1953, ia agak kesal dengan suamu ratu yaitu Pangeran Philip yang kurang perhatian terhadap tamu asing yang datang dari negeri-negeri jauh. Saling menghampiri dan mengayun-ayunkan rokok kreteknya di sekitar hidung sang pangeran.
”Apakah Paduka mengenali aroma rokok ini?” Dengan ragu-ragu menghirup rokok itu, sang pangeran mengakui tidak mengenal aroma tersebut. Agus Salim pun dengan tersenyum berujar, ”Itulah sebabnya 300 atau 400 tahun yang lalu bangsa Pauka mengarungi lautan mendatangi negeri saya”. Maka suasana pun menjadi mencair, sang pangeran mulai ramah meladeni tamunya.
Agus Salim sebenarnya tokoh yang sangat disiplin dalam mendidik dirinya dan keluarganya. Setelah anaknya yang pertama lahir, selama 18 tahun Salim sekeluarga hanya makan sayur segar tanpa daging sama sekali. Padahal dalam keluarga Minang, makan daging seperti rendang adalah santapan utama. Ada dua alasan yang mendorongnya melakukan tersebut. Pertama, seperti diceritakan oleh anaknya, kerena ia menderita ambeien, oleh dokter dianjurkan untuk makan banyak sayur dan berpantang daging. Namun, ada pula sumber lain yang mengatakan Salim takut karena istrinya adalah saudara sepupunya sendiri, kuartir hal itu menyebabkan anak-anaknya cacat. Oleh sebab itu, perlu dilakukan diet kesehatan yang sangat ketat agar putra-putrinya yang dilahirkan juga sehat.
Agus Salim adalah manusia komplet, ia adalah penerjemah, wartawan, diplomat, dan ulama. Bahkan ia juga sastrawan. Inilah petikan dari piusi Tanah Air Kita yang ditulis Agus Salim tahun 1930. ”Apa keikatan kita? / Menyebabkan usaha/ Menjadi azas utama/ Pada tujuan mulia/ Tujuan kita yang sama/ meninggalkan derajar Indonesia”.
Agus Salim adalah manusia merdeka. Merdeka dalam berhadapan dengan penjajah, merdeka dalam berurusan dengan keluarga, kerabat dan bangsanya sendiri. Merdeka dalam memilih lapangan pekerjaan, merdeka dalam berbusana (yang baik), merdeka dalam bersuara. Merdeka dalam bidang pendidikan.
Itulah makna yang dapat dipetik dari kisah tokoh yang dijuluki oleh Hatta sebagai the old grand man. Kita baru betul-betul merdeka, kalau sudah berhasil menciptakan jutaan manusia merdeka di Tanah Air!!!


Sumber: Asvi Warman Adam, Membongkar Manipulasi Sejarah (dengan sedikit perubahan,,, jangan lupa beli bukunya ya....hhe)





No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...